BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian-pengertian
dan Asumsi-asumsi Utama
Tujuan yang ingin dicapai oleh konsumen
adalah kepuasan maksimum, untuk dapat membahasnya kita harus mengetahui
beberapa pengertian dan asumsi dasar (utama).[1]
1. Barang
(Commodities)
Barang
adalah benda dan jasa yang di konsumsi untuk memperoleh manfaat atau kegunaan.
Barang yang dikonsumsi mempunyai sifat makin banyak dikonsumsi makin besar
manfaat yang diperoleh (good). Contohnya pakaian, makin banyak dimiliki makin
memberi manfaat. Sesuatu yang bila konsumsinya ditambah justru mengurangi
kepuasan hidup (bad).
2. Utilitas
(utility)
Utilitas
(utility) adalah manfaat yang
diperoleh karena mengonsumsi barang. Utilitas merupakan ukuran manfaat suatu
barang dibanding dengan alternatif penggunaannya. Utilitas digunakan sebagai
dasar pengambilan keputusan oleh konsumen. Utilitas total (total utility) adalah manfaat total yang diperoleh dari seluruh
barang yang dikonsumsi. Utilitas marjinal (marginal
utility) adalah tambahan manfaat yang diperoleh karena menambah konsumsi
sebanyak satu unit barang.
3. Hukum
Pertambahan Manfaat yang Makin Menurun (The
Law of Diminishing Marginal Utility)
Pada
awalnya penambahan konsumsi suatu barang akan memberi tambahan utilitas yang
besar, tetapi makin lama pertambahan itu bukan saja makin menurun, bahkan
menjadi negatif. Good sudah berubah menjadi bad. Gejala itu disebut sebagai
Hukum Pertambahan Manfaat yang makin Menurun. Dalam perilaku konsumen, gejala
tersebut dilihat dari makin menurunnya nilai utilitas marjinal.
4. Konsistensi
Preferensi (Transitivity)
Konsep
preferensi berkaitan dengan kemampuan konsumen menyusun prioritas pilihan agar
dapat mengambil keputusan. Minimal ada dua sikap yang bekaitan dengan
preferensi konsumen, yaitu lebih suka (prefer)
dan atau sama-sama disukai (indifference).
5. Pengetahuan
Sempurna (Perfect Knowledge)
Konsumen
diasumsikan memiliki informasi atau pengetahuan yang sempurna berkaitan dengan
keputusan konsumsinya. Mereka tahu kualitas barang, kapasitas produksi,
teknologi yang digunakan dan harga barang di pasar. Mereka mampu memprediksi
jumlah penerimaan untuk suatu periode.
B. Teori
Nilai Guna dan Hubungannya dengan Teori Mashlahah
Di dalam teori ekonomi, kepuasan
seseorang dalam mengonsumsi suatu barang dinamakan utility atau nilai guna. Kalau kepuasan terhadap suatu benda
semakin tinggi, maka semakin tinggi pula nilai gunanya. Sebaliknya, bila
kepuasan terhadap suatu benda semakin rendah maka semakin rendah pula nilai
gunanya.
Dalam ekonomi Islam, kepuasan dikenal
dengan maslahah dengan pengertian terpenuhi kebutuhan baik bersifat fisik
maupun spiritual. Seorang muslim untuk mencapai tingkat kepuasan harus
mempertimbangkan beberapa hal, yaitu barang yang dikonsumsi adalah halal, baik
secara zatnya maupun cara memperolehnya, tidak bersikap israf (royal) dan
tabzir (sia-sia). Oleh karena itu, kepuasan seorang muslim tidak didasarkan
banyak sedikitnya barang yang di konsumsi, tetapi didasarkan atas berapa besar
nilai ibadah yang didapatkan dari yang di konsumsinya.
Untuk mengetahui kepuasan seorang
konsumen dalam teori ekonomi, dapat di ilustrasikan dalam bentuk total utility (nilai guna total) dan marginal utility (nilai guna tambahan).
C. Perilaku
Konsumen Berdasarkan Pendekatan Marginal
Utility
Total
utility adalah jumlah seluruh kepuasan yang diperoleh dalam
mengonsumsi sejumlah barang tertentu. Sementara itu, marginal utility adalah penambahan atau pengurangan kepuasan
sebagai akibat dari penambahan dan pengurangan penggunaan satu unit barang.[2]
Tabel
Total Utility dan Marginal Utility
Jumlah
Apel yang dimakan
|
Total
Utility
|
Marginal
Utility
|
0
|
0
|
0
|
1
|
30
|
30
|
2
|
50
|
20
|
3
|
65
|
15
|
4
|
69
|
4
|
5
|
68
|
-1
|
6
|
64
|
-4
|
7
|
57
|
-7
|
Tabel diatas menunjukkan ketika memakan
apel yang keempat, total nilai gunanya mengingkat dan nilai guna marginalnya
positif. Berarti kepuasan seseorang memakan apel mencapai tingkat kepuasan yang
maksimal pada apel yang keempat. Namun, ketika memakan apel yang kelima total
utilitynya menurun dan marginal utilitynya adalah negatif.
Kurva total utility bermula dari titik
nol, yang berarti tidak ada konsumsi, total utility adalah nol. Pada mulanya
kurva total utility adalah menaik, yang berarti kalau jumlah konsumsi apel
bertambah, total utility bertambah. Kurva total utility mulai menurun pada
waktu konsumsi apel melebihi empat buah. Kurva marginal utility turun dari
kirike kanan bawah. Kurva nilai guna marginal memotong sumbu dasar sesudah apel
kedua. Berarti sesudah perpotongan tersebut marginal utility adalah negatif.
Dalam keadaan seperti ini, berdasarkan etika konsumsi dalam Islam, seorang
konsumen harus menghentikan konsumsi terhadap barang tersebut. Karena hal itu
menimbulkan disutility yang dalam istilah fiqh dikenal dengan mafsadah
(kerusakan).
Dalam ekonomi konvensional, konsumsi
diasumsikan selalu bertujuan untuk memperoleh kepuasan (utility). Konsumsi dalam Islam tidak hanya bertujuan untuk mencari
kepuasan fisik, tetapi lebih mempertimbangkan aspek maslahah yang menjadi
tujuan dari syariat Islam (maqashid
syariah).
Imam Asy-Syathibi mengatakan, bahwa
kemaslahatan manusia dapat terealisasi apabila 5 unsur pokok dapat diwujudkan
dan dipelihara yaitu: agama (ad-din), jiwa (an-nafs), akal (al-‘aql), keturunan
(an-nasl) dan harta (al-mal).[3]
Mengurangi konsumsi suatu barang sebelum
mencapai kepuasan maksimal adalah prinsip konsumsi yang diajarkan Rasulullah,
seperti makan sebelum lapar dan berhenti sebelum kenyang. Karena tambahan nilai
guna yang akan diperoleh akan semakin menurun apabila seseorang terus
mengonsumsinya. Pada akhirnya, tambahan nilai guna akan menjadi negatif apabila
konsumsi terhadap barang tersebut terus ditambah. Hukum nilai guna marginal
yang semakin menurun (law of diminishing marginal
utility) menjelaskan bahwa penambahan terus menerus dalam mengonsumsi suatu
barang, tidak akan menambah kepuasan dalam konsumsi karena tingkat kepuasan
terhadap barang tersebut akan menurun.
Misalnya, seorang yang kehausan diberi
segelas air minum akan mendapatkan kepuasan yang maksimal. Kemudian diberi air
satu atau dua gelas air maka kepuasannya akan bertambah. Akan tetapi jika
diberi lagi satu gelas air lagi, ia akan menolak karena sudah merasa puas.
Berarti, nilai guna total dari meminum empat gelas adalah lebih rendah dari
nilai guna yang diperoleh dari meminum tiga gelas. Karena itulah, Islam
menekankan sikap sederhana dalam konsumsi. Sebaliknya sikap israf
(berlebih-lebihan) dan tabzir (sia-sia) dalam konsumsi dilarang.
Dalam teori ekonomi, setiap orang akan
berusaha memaksimumkan kepuasan dari barang-barang yang di konsumsinya. Menurut
teori nilai guna, untuk mewujudkan prinsip pemaksimuman kepuasan konsumen yang
mempunyai pendapatan terbatas, dapat dilakukan dengan pendekatan melalui kurva kepuasan
sama (indifference curve / IC).
D. Fungsi
Utility
Dalam ilmu ekonomi tingkat kepuasan
(utility function) digambarkan oleh kurva indiferen (indifference curve).
Biasanya yang digambarkan adalah utility function antara dua barang (jasa) yang
keduanya memang disukai oleh konsumen.
Dalam
membangun teori utility function, digunakan tiga aksioma pilihan rasional:[4]
1. Completeness
Aksioma
ini mengatakan bahwa setiap individu selalu dapat menentukan keadaan mana yang
lebih disukainya di antara dua keadaan. Bila A dan B adalah dua keadaan yang
berbeda, maka individu selalu dapat menentukan secara tepat satu di antara tiga
kemungkinan:
a. A
lebih disukai daripada B
b. B
lebih disukai daripada A
c. A
dan B sama menariknya
2. Transtivity
Aksioma
ini menjelaskan bahwa jika seorang individu mengatakan “A lebih disukai
daripada B” dan “B lebih disukai daripada C”, maka pasti ia akan mengatakan
bahwa “A lebih disukai daripada C”. Aksioma ini sebenarnya untuk memastikan
adanya konsistensi internal di dalam diri individu dalam mengambil keputusan.
3. Continuity
Aksioma
ini menjelaskan bahwa jika seorang individu mengatakan “A lebih disukai
daripada B,” maka keadaan yang mendekati A pasti juga lebih disukai daripada B.
Ketiga asumsi diatas dapat kita
terjemahkan ke dalam bentuk kurva iniferen (Indifference Curve).
E. Perilaku
Konsumen Berdasarkan Kurva Indiferen (Indifference Curve)
Indifference Curve (IC) adalah suatu
kurva yang menggambarkan gabungan dari dua barang yang akan memberikan kepuasan
yang sama besar. Untuk menjelaskan kurva tersebut dapat diilustrasikan sebagai
berikut:
Seseorang mengonsumsi makanan dan
pakaian. Digambarkan dengan enam kombinasi makanan dan pakaian yang akan
memberikan kepuasan yang sama besarnya kepada seorang Muslim. Apabila ia
memilih kombinasi A, ia mendapatkan 14 makanan dan 2 pakaian. Kepuasan yang
diperoleh tidak berbeda dengan jika ia mengonsumsi kombinasi B, yakni 8 makanan
dan 3 pakaian, dan seterusnya sampai kombinasi sebaliknya yang digambarkan pada
kombinasi F. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Gabungan
Barang
|
Makanan
|
Pakaian
|
A
|
14
|
2
|
B
|
8
|
3
|
C
|
6
|
4
|
D
|
4
|
6
|
E
|
3
|
8
|
F
|
2
|
14
|
Kurva indiferen akan memberikan gambaran
yang lebih lengkap mengenai keinginan seorang konsumen untuk mengonsumsi dua
barang dan memberikan kepuasan yang maksimum.
Jika seorang Muslim menukar kombinasi
barang yang di konsumsi dari kombinasi A menjadi B, perubahan ini akan
memengaruhi kenaikan konsumsi pakaian dari 2 menjadi 3 unit. Sementara itu,
untuk makanan mengalami penurunan dari 14 menjadi 8 unit. Berarti, peningkatan
konsumsi satu unit barang akan menguragi konsumsi barang yang lain. Keadaan ini
menggambarkan besarnya pengorbanan suatu barang untuk meningkatkan konsumsi
barang yang lain dalam waktu yang bersamaan. Pengorbanan ini dinamakan dengan
marginal rate of substitution (MRS). Misalnya, seorang Muslim sudah mempunyai
makanan yang banyak namun, pakaiannya masih sedikit. Agar mendapatkan kepuasan
yang sama diperlukan pengurangan konsumsi makanan sehingga, memperoleh satu
tambahan unit pakaian.
Konsekuensi dari adanya aksioma
konsistensi dalam pilihan konsumen, maka antara kurva inifference yang berbeda
tidak boleh saling berpotongan. Jika kurva tersebut berpotongan berarti terjadi
pelanggaran terhadap aksioma utility, yaitu tidak adanya konsistensi telah
terjadi.[5]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Di dalam teori ekonomi, kepuasan
seseorang dalam mengonsumsi suatu barang dinamakan utility atau nilai guna. Kalau kepuasan terhadap suatu benda
semakin tinggi, maka semakin tinggi pula nilai gunanya. Sebaliknya, bila
kepuasan terhadap suatu benda semakin rendah maka semakin rendah pula nilai
gunanya.
Tujuan yang ingin dicapai oleh konsumen
adalah kepuasan maksimum, beberapa
pengertian dan asumsi dasar (utama) yaitu, barang, utilitas, hukum pertambahan
nanfaat yang makin menurun, konsistensi preferensi, dan pengetahun sempurna. Total utility adalah jumlah seluruh
kepuasan yang diperoleh dalam mengonsumsi sejumlah barang tertentu. Sementara
itu, marginal utility adalah
penambahan atau pengurangan kepuasan sebagai akibat dari penambahan dan
pengurangan penggunaan satu unit barang.
Dalam membangun teori utility function,
digunakan tiga aksioma pilihan rasional yang pertama Completeness, kedua Transtivity,
dan ketiga Continuity. Ketiga asumsi diatas dapat kita terjemahkan ke dalam
bentuk kurva iniferen (Indifference Curve). Indifference Curve (IC) adalah
suatu kurva yang menggambarkan gabungan dari dua barang yang akan memberikan
kepuasan yang sama besar.
DAFTAR PUSTAKA
Ir.
Adiwarman A. Karim, S.E.,M.B.A.,M.A.E.P, 2016 Ekonomi Mikro Islami, Jakarta: Rajawali Pers, PT. RajaGrafindo
Persada.
Prathama
Rahardja, Mandala Manurung, 2008 Pengantar
Ilmu Ekonomi (Mikroekonomi & Makroekonomi), Jakarta: Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Rozalinda, 2016 Ekonomi islam teori dan aplikasinya pada
aktivitas ekonomi, Jakarta, Pt. Raja grafindo persada.
[1] Prathama
Raharja, Mandala Manurung. 2008. Pengantar
Ilmu Ekonomi (Mikroekonomi & Makroekonomi), hlm. 73.
[2] Sadono Sukirno, Pengantar Teori Mikro Ekonomi, (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2002) edisi ke 3, hlm. 152.
[3] Abu Isak
as-Syatibi, al-Muwafaqat fi Uhsul as-Syariah, (Beirut): Dar al-Mar’rifah,t.t),
jilid II, hlm. 8.
[4] Walter
Nicholson. Microeconomic Theory: Basic Principles an Extensions 6th ed. (New
York: The Dryden Press, 1995).
[5]
Ir.Adiwarnan A. Karim, S.E.,M.B.A.,M.A.E.P. 2016. Ekonomi Mikro Islami, hlm.
92.